Kamis, 01 Mei 2008

Tebo Tempo Doeloe



Sejarah Kabupaten Tebo




Kota Muara Tebo sering menjadi ibu kota kabupaten. Bahkan sebelum menjadi ibu kota Kabupaten Tebo. Tidak percaya ? Tengok saja kilasan sejarah dan beberapa produk hukum yang mengaturnya.
SAAT pemerintahan Raden Candra Negara (1690-1696) pernah menjadi ibu kota Kerajaan Jambi, tepatnya di Desa Mangun Jayo. Zaman penjajahan Belanda, menjadi pusat pemerintahan Onder Afdeeling selama 3,5 abad. Begitu pula saat penjajahan Jepang menjadi pusat pemerintahan Gun selama 3,5 tahun.
Bahkan, setelah kemerdekaan Indonesia, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 1948 pernah menjadi ibu kota Kabupaten Jambi Ulu yang wilayahnya meliputi Sarolangun, Bangko, Muaro Bungo, dan Muaro Tebo.
Dua tahun berikutnya, Kabupaten Jambi Ulu berubah menjadi Merangin dengan wilayah yang tetap, dan Muaro Tebo tetap menjadi ibu kota. Hanya berlangsung selama 2,5 tahun, ibu kotanya pindah ke Sungai Emas Bangko. Dan Muaro Tebo menjadi kawedanan. Saat itulah, kota yang dilewati Lintas Tengah Sumatera ini mulai pensiun menjadi ibu kota. Kemudian UU Nomor 7 Tahun 1965 mengatur Kawedanan Tebo menjadi bagian dari Kabupaten Bungo Tebo.
Akhirnya dengan UU Nomor 54 Tahun 1999, Muara Tebo berhasil menjadi ibu kota Kabupaten Tebo, buah pemekaran dari Kabupaten Bungo Tebo. Setelah hampir 35 tahun berdiam diri, sekarang Muaro Tebo harus berbenah lagi. Kota kecil dikelilingi hutan yang dulunya sepi, mulai dilengkapi berbagai sarana prasarana. Kompleks perkantoran "Seentak Galah Serengkung Dayung" misalnya, dibangun diatas lahan 96 hektar. Kemudian rumah sakit, terminal, perumahan, dan fasilitas-fasilitas umum lainnya.
Muaro Tebo memang sedang berbenah diri. Namun, jangan dianggap Kabupaten Tebo tidak memiliki sarana prasarana yang lengkap. Ada satu kecamatan yaitu Rimbo Bujang yang lebih dulu bersiap diri mendukung pemekaran Tebo. Kecamatan yang sekarang mekar menjadi Rimbo Ulu dan Rimbo Ilir ini sebelum pemekaran sudah melengkapi diri dengan sarana prasarana. Tahun 1999 misalnya, fasilitas perdagangan (pasar) di Rimbo Bujang berjumlah 18 buah, sedang di Tebo Tengah hanya 3 buah. Jumlah penduduknya pun memang lebih banyak dibandingkan kecamatan lokasi Muara Tebo itu.
Tanaman karetlah yang membuat Rimbo Bujang menjadi kecamatan maju. Pohon penghasil getah karet ini juga yang membawa pertanian, khususnya perkebunan sebagai basis ekonomi Kabupaten Tebo.
Tahun 2002, perkebunan memberi kontribusi Rp 166 miliar. Sebanyak 44 persen tenaga kerja secara turun-temurun mengandalkan hidupnya di perkebunan dan 45 persen dari luas wilayah berupa areal perkebunan.
Bekas transmigran Rimbo Bujang saat pertama kali datang ke lokasi tahun 1974-1975 mendapat jatah lahan 5 hektar tiap keluarga. Semua lahannya di tanami karet. Pengelolaannya diserahkan kepada perkebunan negara (PTPN VI) bekerja sama dengan Departemen Transmigrasi dengan pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR) Trans. Bertahun-tahun mereka mengandalkan hidupnya dengan berkebun karet. Sampai akhirnya lahan itu sudah menjadi milik mereka dan sekarang kebun karet total dikelola oleh masyarakat.
Produksi getah karet Tebo pada 2002 mencapai 94.385 ton, meningkat 4,4 persen dari tahun sebelumnya. Akan tetapi, luas tanamannya mengalami penurunan 1,5 persen. Rimbo Bujang, Rimbo Ulu, dan Rimbo Ilir punya peran dalam penurunan areal tanam karena sebagian beralih fungsi menjadi lahan kelapa sawit. Meski begitu, produksi getah karet tiga kecamatan tersebut menyumbang 37 persen bagian produksi getah karet.
Sayang, produksi yang melimpah bahkan terbesar di Provinsi Jambi tidak diikuti dengan keberadaan industri pengolahan karet. Selama ini, getah-getah karet dalam bentuk balok-balok cetakan diangkut ke Kabupaten Bungo, Kota Jambi dan Padang untuk diproses lebih lanjut.
Masa-masa kejayaan karet akan berakhir. Tanaman-tanaman karet yang umumnya sudah lebih dari 25 tahun, tidak produktif lagi untuk disadap. Program peremajaan karet di Kabupaten Tebo hampir tidak ada. Hasilnya petani-petani eks trans mulai melirik kelapa sawit sebagai tanaman pengganti. Sebenarnya, kelapa sawit bukan hal baru bagi kabupaten yang juga dilintasi Sungai Batang Hari ini. Pada lokasi transmigrasi lain di Tebo Ilir, Tebo Ulu, dan Sumay, kelapa sawit menjadi tanaman andalan.
Berbeda dengan karet, pengelolaan kelapa sawit melibatkan tiga pihak : masyarakat, negara, dan swasta dengan pola PIR dan Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN), yaitu PT Tebora. Perkebunan negara (PTPN VI) yang dulunya mengelola karet di Rimbo Bujang, sekarang ikut mengelola perkebunan kelapa sawit.
Namun saat ini untuk perkebunan karet dan sawit banyak masyarakat yang mengeluh karena semakin minimnya lahan. Sehingga masyarakat melalukan perambahan terhadap hutan yang merupakan tanah milik Negara. Sehingga kerap terjadi kerusuhan antara warga dengan perusahaan yang mendapat izin pengolahan lahan.
Fenomena alih fungsi areal tanam karet menjadi kelapa sawit ditanggapi pemerintah kabupaten (pemkab) secara positif. Dinas Perkebunan mendirikan kebun bibit sawit unggul bekerja sama dengan Balai Penelitian Bibit di Medan. Bibit-bibit tersebut diberikan kepada petani dengan harga yang disubsidi pemerintah.
Hasil produksinya tahun 2002 mencapai 48.541 ton. Meski belum bisa menyamai posisi Kabupaten Muaro Jambi dan Sarolangun sebagai sentra penghasil kelapa sawit Jambi. Selanjutnya tandan buah segar sawit dibawa ke industri pengolahan kelapa sawit di Batang Hari, Bungo, Sarolangun, dan Merangin karena belum ada industri pengolahan sawit.
Fungsi tata guna lahan lain yang ikut mendominasi bagian wilayah Tebo adalah hutan. Luas kawasannya yang mencapai 293.947 hektar terdiri atas hutan produksi tetap, produksi terbatas, lindung, dan konservasi. Meski luas arealnya hampir sama dengan areal perkebunan, tetapi kontribusinya tidak sama. Terbukti tahun 2002 hanya menyumbang Rp 68 miliar. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tebo tetap bergantung pada sektor ini, khususnya dari retribusi Izin Pemanfaatan Hasil Hutan (IPHH) yang memberi 75 persen bagian.
Tebo memang belum bisa berbuat banyak untuk mengelola potensi-potensi lain seperti pertanian tanaman pangan, perikanan, peternakan, pariwisata, dan industri. Namun, dalam realisasi anggaran 2002, sekitar 52 persen bagian pendapatannya digunakan untuk belanja pembangunan.
Begitu juga dengan sector pariwisata. Tebo banyak memiliki potesi wisata alam dan potensi wisata warisan budaya. Seperti danau sigombak di desa Jambu 30 KM dari Kota Muara Tebo. Kemudian beberapa candi peninggalan kerajaan hindu yang banyak ditemukan di beberapa daerah sepanjang aliran sungai batang hari. Tebo juga kaya akan ragam budaya lainnya. Namun budaya dan potensi wisata itu belum tergali dan malahan sebagian besar budaya masa lalu itu telah terabaikan oleh generasi sekarang.(berbagai sumber)

Well Come To Lake Sigombak





Sigombak adalah suatu nama objek wisata danau yang terletak di desa Jambu Kecamatan Tebo Ulu, 30 KM dari kota Muaratebo kabupaten Tebo, atau sekitar 250 KM dari Kota Jambi, Indonesia. Letak Danau Sigombak juga hanya berkisar sekitar 4o KM dari Kota Bungo dan Sekitar 80 KM dari Kabupaten Darmasraya, Provinsi Sumatera Barat atau sekitar 300 KM dari Kota Padang. Danau Sigombak juga hanya berjarak sekitar 1oo KM dari perbatasan Tebo-Riau.
Danau Sigombak memiliki potensi sebagai objek wisata alam di Kabupaten Tebo dan Provinsi Jambi. Karena Sigombak memiliki luas mencapai 45 hektar dengan sebuah pulau seluas 15 Hektar yang terletak ditengah danau. Secara Geografis, Sigombak memiliki keunikan lain karena bisa dinikmati dari atas bukit dan dari bagian bawah danau. Disekeliling danau, masih dilingkupi suasana alam yang natural. seperti pohon beringin dan pohon lainnya.
Dari sisi budaya, danau Sigombak mengandung cerita legenda masa lampau. Konon danau Sigombak merupakan tempat mandi raja-raja zaman dahulu. Danau Sigombak juga dikaitkan dengan beberapa cerita masa lalu yang sampai saat sekarang belum tergali. Didaerah lain sekitar danau, juga banyak ditemukan candi-candi peninggalan sejarah serta makam-makam kuno. Lagi-lagi, peninggalan sejarah itu belum dikelola dan digali secara baik. parahnya, sekarang tokoh-tokoh sejarah yang memiliki pengetahuan tentang danau Sigombak tidak diketemukan lagi.
Walaupun menyebutkan Sigombak sebagai objek wisata, hingga sekarang, pemerintah Provinsi Jambi dan Pemkab Tebo belum melakukan pembangunan yang berarti untuk mengembangkan potensi wisata alam itu. Sampai tahun 2008, baru sebuah dermaga sebagai tempat peristirahatan yang dibangun didanau Sigombak. Keterbatasan anggaran pemerintah dan faktor pembangunan prioritas menyebabkan pembangunan objek wisata berjalan lambat. Memang sektor parisiwisata belum menjadi andalan bagi Provinsi Jambi apalagi Kabupaten Tebo. (dibuktikan dengan banyaknya candi-candi peninggalan sejarah peninggalan kerajaan hindu dan Budha yang belum dipugar, walaupun ada yang telah dipugar, tidak terawat...!
Sekarang, karena belum tergarap (namun) terus dipromosikan, Sigombak setiap hari selalu dikunjungi. Pengunjung yang kebanyakan generasi muda itu memanfaatkan lokasi danau pacaran yang beberapa diantaranya berakhir dengan perbuatan mesum. Karena itu, tokoh masyarakat mulai menentang keberadaan objek wisata danau didesa mereka.

SUKU ANAK DALAM



Asal Usul Suku Anak Dalam
Menurut sebagian ahli, Orang Rimba dan Orang Melayu memiliki nenek moyang yang sama. Hal itu dilihat dari kemiripan budaya, bahasa, dan rupa fisik. Namun demikian asal dari nenek moyang orang Melayu dan Orang Rimba belum disepakati secara tegas oleh para ahli. Sampai saat ini masih terjadi perbedaan pendapat mengenai daerah asal usul nenek moyang orang Melayu dan Orang Rimba.
Diperkirakan keberadaan Orang Rimba di pulau Sumatera dimulai sekitar 4000 tahun sebelum masehi, bersamaan dengan kedatangan kelompok manusia dari benua Asia, yakni dari daerah Yunan yang termasuk di dalam wilayah Cina Selatan. Mereka dikenal sebagai Melayu Tua atau Proto Melayu yang memiliki peradaban sangat sederhana. Menurut sebagian ahli, ras inilah yang menurunkan Orang Rimba.
Gelombang kedua kedatangan nenek moyang orang Melayu terjadi sekitar tahun 2500 sebelum masehi. Mereka diperkirakan datang dari daerah Dongson di sebelah utara Vietnam. Dimungkinkan mereka membawa teknologi dan keterampilan yang lebih canggih dibandingkan kelompok yang datang dari daerah Yunan. Di pulau Sumatera kedua kelompok bertemu dan bercampur melahirkan ras Deutro-Melayu. Menurut perkiraan sebagian ahli yang lain, ras Deutro-Melayu yang melahirkan Orang Melayu dan Orang Rimba.Sejak tahun 1500-an (sesuai catatan para penjelajah eropa), Orang Rimba telah melakukan hubungan dagang dan menjalin hubungan kekuasaan dengan kerajaan Jambi. Orang Rimba membayar upeti (jajah) kepada kerajaan berupa barang yang bisa didagangkan dan hasil kerajinan agar keberadaan Orang Rimba diakui dan tidak diusik. Pada akhir abad 19 ketika masa pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia sedang kokohnya, banyak pejabat pemerintahan yang membuat catatan mengenai Jambi, khususnya mengenai keberadaan Orang Rimba yang saat itu disebut dengan Orang Kubu.
Menurut sebagian catatan itu diceritakan bahwa Orang Kubu (termasuk Orang Rimba) adalah orang-orang yang mengalami tekanan kehidupan yang sangat keras dari Orang Melayu. Banyak Orang Kubu ditangkap orang Melayu untuk dijadikan budak. Oleh karena itulah Orang Rimba berupaya menjalin hubungan baik dengan pihak kerajaan agar aman.
Mitos riwayat asal muasal Orang Rimba memiliki beberapa versi yang berbeda. Namun demikian hampir seluruh versi itu sama-sama mengklaim bahwa pada awalnya Orang Rimba dan orang Melayu merupakan satu kelompok yang sama. Salah satu versi menyebutkan bahwa pada abad ke 11, di Jambi telah berdiri kerajaan maritim Sriwijaya yang menguasai sebagian selat Malaka dan memiliki hubungan internasional.
Pada tahun 1025, kerajaan Chola dari India Selatan menaklukan Sriwijaya dan menguasainya. Pada saat itu, sebagian penduduk Sriwijaya yang tidak mau dikuasai orang asing berpindah ke hutan dan seterusnya hidup di hutan. Mereka ini disebut Orang Kubu, yang salah satu variasinya adalah Orang Rimba. Istilah kubu dimungkinkan bermakna benteng, yang bisa diartikan sebagai membangun benteng dengan mendirikan komunitas baru di daerah terpencil dan jauh di pedalaman hutan. (berbagai sumber)

SUKU ANAK DALAM (VERSI)



Suku Anak Dalam Berasal Dari Sumbar?
Riwayat lain mengkisahkan bahwa konon pada waktu lampau, raja Pagaruyung, yakni Daulat Yang Dipertuan, setelah sholat duduk di atas kura-kura besar yang disangkanya batu di pinggir sungai. Dia bersirih dan membuang sirihnya ke dalam sungai. Sirih tersebut dimakan oleh kura-kura. Setelah memakan sirih yang dibuang sang raja, si kura-kura hamil dan melahirkan anak manusia laki-laki. Kabar bahwa ada kura-kura memiliki anak manusia sampai ke telinga raja. Lalu dipanggillah anak tersebut ke istana. Akhirnya diakuilah anak tersebut sebagai anaknya oleh sang raja. Setelah dewasa, anak tersebut akan dijadikan raja di kota Tujuh, Sembilan Kota, Pitajin Muara Sebo, Sembilan Luruh sampai daerah terpencil Jambi. Namun sebagian penduduk tidak setuju karena anak tersebut adalah anak kura-kura. Sebagai bentuk penolakan, mereka menyingkir ke hutan dan hidup disana. Jadilah mereka Orang Rimba.
Menurut cerita lisan dari beberapa Orang Rimba di TNBD, mereka mengatakan bahwa nenek moyang mereka adalah orang Padang (Minangkabau) di Sumatera Barat. Pada awalnya mereka semua berkampung sampai kedatangan orang Belanda. Karena enggan dikuasai oleh orang asing, mereka melakukan perlawanan. Namun karena tidak kuat melawan maka mereka lari.
Sebagian dari mereka lari ke hilir (ke arah laut) dan sebagian ke arah hulu (ke gunung). Mereka yang menyingkir ke hilir menjadi Orang Minangkabau, sedangkan mereka yang menyingkir ke gunung dan hutan menjadi Orang Rimba. Lama kelamaan, karena ingin menghindari orang asing mereka sampai di jambi.
Versi lain mitos asal usul Orang Rimba berkaitan dengan sebuah cerita mengenai Putri Pinang Masak. Konon kabarnya, pada zaman dahulu kala Jambi dipimpin oleh Ratu Putri Selaras Pinang Masak yang berasal dari kerajaan Pagaruyung dari wilayah Sumatera Barat kini.
Pada suatu masa, terjadilah pertentangan dengan raja Kayo Hitam yang berkuasa di lautan sampai dengan Muara Sabak (daerah Kuala Tungkal saat ini). Sang ratu merasa kewalahan sehingga ia meminta bantuan ke Pagaruyung. Maka dikirimkanlah serombongan pasukan oleh raja Pagaruyung. Namun belum sampai di Jambi, rombongan pasukan tersebut kehabisan bekal di sekitar wilayah TNBD sekarang.
Akhirnya mereka memutuskan untuk menetap di dalam rimba karena apabila kembali ke Pagaruyung akan dihukum, sedangkan bila meneruskan perjalanan sudah tidak memiliki bekal lagi. Mereka juga bersepakat untuk tidak tunduk kepada siapapun, baik kepada raja Pagaruyung maupun ratu Jambi. Merekalah yang kemudian menurunkan Orang Rimba.
Dari salah seorang Orang Rimba Makekal, didapat cerita mengenai Bujang Perantau sebagai nenek moyang Orang Rimba. Diceritakan bahwa Bujang Perantau berasal dari Pagaruyung. Ia tinggal sendiri di dalam sebuah rumah di dalam hutan.
Pada suatu hari ia memperoleh buah gelumpang. Pada malam hari ia bermimpi agar membungkus buah gelumpang dengan kain putih. Oleh bujang perantau mimpi tersebut dilaksanakan. Lalu muncullah putri cantik dari buah gelumpang yang dibungkus. Mereka berdua lalu kawin.
Namun karena tidak ada yang mengawinkan maka mereka meniti batang kayu yang melintang diatas sungai. Pada saat kening mereka beradu, maka berarti perkawinan mereka sah. Dari hasil perkawinan mereka lahirlah empat orang anak, yakni Bujang Malapangi, Dewo Tunggal, Putri Gading, dan Putri Pinang masak.Anak pertama dan terakhir, yakni Bujang Malapangi dan Putri Pinang Masak keluar dari hutan dan kemudian menjadi Orang Terang. Bujang Malapangi berkampung di desa Tana Garo. Putri Pinang Masak berkampung di Tembesi. Sedangkan Dewo Tunggal dan Putri Gading tetap tinggal di dalam hutan, yakni di wilayah hutan bukit Duabelas. Kedua anak dari Bujang Perantau yang tinggal di dalam hutan yang kemudian menurunkan Orang Rimba. (berbagai sumber)